DATUK LANDAK DAN KISAH AIR KELAPA
Tidak jauh dari desa sampe raya dan timbang lawan, bahorok, sekitar 2 km dari jalan utama medan-bukit lawang, menyeberangi sungai ke bagian dalam perkebunan rakyat setempat, tersohorlah situs pemakaman yang sangat dihormati. Namanya makam datuk landak.
Tempatnya agak terpisah dari pemukiman umum, dan akses jalannya masih berupa tanah yang dapat dilalui dengan kendaraan bermotor roda dua. Kawasan pemakaman keluarga itu terhubung oleh titian selebar kira-kira 1,5 meter sepanjang kira-kira 40 meter untuk sarana penyeberangan di atas sungai bahorok yang lebar dan dangkal.
Melewati titian ini, pengunjung bisa menyaksikan kesibukan warga lokal di bagian bawah yang sedang membersihkan tubuh, bermain, atau mencuci kendaraan. Pada pagi dan sore hari, kesibukan itu semakin padat dan menyajikan panorama sosial yang rutin sifatnya, dimana warga lokal berkumpul di sungai sebelum atau setelah lelah seharian bekerja. Sungai menjadi semacam sarana pertemuan umum warga secara informal, dimana mereka mengambil kesempatan bercengkerama sambil mandi sebelum petang tiba. Anak-anak menjadi kelompok yang paling riang dan lasak berlarian ke sana kemari.
Pemakaman datuk landak terletak di seberang keramaian itu. Di suatu lokasi yang rimbun dan agaknya merupakan bekas pemukiman lama yang sudah ditinggalkan, makam itu telah menjadi kompleks pekuburan bagi keturunan datuk landak. Di dalamnya, makam datuk landak terlihat menonjol dengan ukuran yang lebih panjang, serta dilindungi oleh suatu bangunan tertutup yang memungkinkan orang duduk untuk berzikir dan membaca doa.
Makam datuk landak juga dikelilingi pagar, dan dijaga selalu kebersihannya oleh keluarga yang dipercaya mengurus kompleks itu. Pada bagian lain, tampak puluhan kuburan yang lebih kecil berjejer secara terbuka. Kompleks pemakaman ini dilengkapi dengan sebuah sumur yang tak pernah kering untuk kepentingan mengambil wudhuk. Di sebelah sumur itu terdapat mushalla kecil untuk para peziarah.
Alkisah, datuk landak adalah sosok yang sangat berilmu tinggi. Bagi orang karo ia disebut sebagai orang sakti. Bagi etnik melayu ia adalah ulama besar yang memiliki karomah. Kedua suku ini menempatkannya pada kedudukan yang mulia dan terhormat. Kisah-kisah tentang kekeramatan dan kesaktiannya pun berkembang di tengah masyarakat.
Salah satu versi yang paling populer adalah peristiwa aneh ketika suatu waktu 7 orang pangeran dari tanah phakpak berkunjung ke bahorok. Ketujuh orang itu kehausan dalam perjalanan, sehingga mereka singgah dan meminta air kelapa kepada datuk landak.
Sang datuk mengizinkan, tapi dengan syarat, mereka hanya boleh mengambil secukupnya saja, agar tidak mubazir dan berlebihan. Datuk menyarankan, mereka membelah satu kelapa dulu, dan apabila nantinya kurang, mereka boleh membelah satu kelapa lagi, dan demikian seterusnya. Tapi para pangeran itu rupanya tidak puas dengan cara itu. Mereka sangat haus dan merasa bahwa diperlukan satu tandan kelapa untuk memuaskan dahaga mereka. Maka terjadilah perdebatan kecil mengenai hal itu.
Pada akhirnya datuk landak memberikan pilihan yang bernada tantangan kepada para tamunya. Demikian perkataan sang datuk:
"baiklah, tuan-tuan. Apabila kalian masih bersikeras untuk mengambil satu tandan dari pohon kelapa saya, maka saya meminta satu hal saja. Bila kalian bisa menghabiskan satu butir kelapa saja, maka kalian bebas mengambil kelapa sebanyak apapun yang kalian inginkan. Tapi apabila ternyata kalian tidak bisa menghabiskan air sebutir kelapa, maka kalian bertanggung jawab untuk memulangkan tandan yang kalian potong kembali ke pohonnya! "
mendengar permintaan itu, tanpa pikir panjang ketujuh pangeran tersebut menyetujuinya dengan gembira. Mereka lantas memotong satu tandan kelapa sekaligus. Tapi keanehan sungguh terjadi. Ketika seseorang di antara mereka meminum satu kelapa pertama, ternyata airnya tidak pernah berkurang. Mereka mencoba menghabiskannya secara bergiliran sampai perut mereka benar-benar penuh, tapi kelapa itu tetap menyisakan air.
Menyaksikan kenyataan itu, ketujuh pangeran langsung bersimpuh di hadapan datuk, dan meminta ampun. Sebagai hukuman atas ketidakmampuan mereka mengembalikan tandan kelapa ke pohonnya sesuai perjanjian, datuk landak meminta mereka tinggal bersamanya. Sejak itu para pangeran pun secara patuh belajar ilmu kepada sang datuk.
Kelak para pangeran itu memutuskan tinggal secara menetap tidak jauh-jauh dari sekitar rumah kediaman datuk, yaitu di tepian sungai landak. Di sana mereka menciptakan pengairan dan pengolahan sawah dengan memanfaatkan air pegunungan dengan kemampuan yang mengagumkan. Nama tempat itu kelak dikenal dengan "selang pangeran".
Karomah datuk landak yang paling menonjol bagi masyarakat etnik karo dan melayu memang berkisar pada bagaimana memperlakukan harta. Pesannya adalah hidup berkecukupan, , tidak tamak, tidak berlebihan, dan mensyukuri nikmat. Maka terkenallah ungkapan, "seperti rezeki datuk landak", yang bermakna "rezeki yang cukup dan tidak berkesudahan" (sustainable).
Menurut kepercayaan masyarakat lokal, datuk landak hanya merasa perlu memanen padi satu tabung, dan ketika diambil satu tabung, sisanya tetap satu tabung. Kabar-kabar yang beredar di antara mereka menyebutkan, datuk landak berasal dari india, dan ia telah diterima dengan baik di tengah masyarakat suku karo karena memiliki hati yang baik dan niat yang suci.
Sampai hari ini, makam datuk landak masih ramai diziarahi orang, terutama pada bulan-bulan tertentu yang dianggap baik untuk berziarah. Mereka percaya, kekeramatan (karomah) datuk landak masih hidup meskipun beliau telah terbaring di dalam kuburannya.